Ekonomi – Cianews – Kemunculan kembali kasus Harun Masiku menjelang momentum politik, seperti Pilpres, menimbulkan pertanyaan besar. Berbagai organisasi kepemudaan gencar mendesak KPK untuk segera menangkap buronan tersebut. Namun, seberapa urgenkah kasus suap Rp600 juta ini dibandingkan dengan kasus korupsi besar lainnya, seperti Joko Chandra (Rp546 miliar), PT Timah (Rp300 triliun), atau BLBI (Rp138 triliun)? Apakah desakan ini murni penegakan hukum, atau ada agenda politik terselubung?
Tindakan sejumlah pihak yang seolah-olah mengkampanyekan penangkapan Harun Masiku, bahkan sampai membuat sayembara, dinilai telah merendahkan martabat KPK. Pertanyaan pun muncul: mengapa kasus buronan lain, seperti Kirana Kotama, tidak mendapatkan perhatian serupa? Ada kecurigaan bahwa kasus Harun Masiku, yang bermula dari OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan pada Januari 2020, mungkin lebih dari sekadar suap. Apakah Wahyu Setiawan yang meminta suap, atau ada pihak lain yang memanfaatkan kasus ini untuk tujuan tertentu?

Penulis mempertanyakan esensi dari kegaduhan ini, mengingat praktik suap bukan hal baru di Indonesia. Dari dunia kerja hingga pendidikan, praktik tersebut sudah menjadi hal yang lumrah. Bahkan, urusan administrasi seperti pembuatan KTP pun tak luput dari praktik tersebut. Apakah kasus Harun Masiku hanya puncak gunung es dari masalah sistemik yang lebih besar? Ataukah ini sekadar drama politik yang memanfaatkan momentum? Pertanyaan ini perlu dikaji lebih dalam untuk memahami urgensi sebenarnya dari kasus yang telah berlarut-larut ini.

Related Post
Tinggalkan komentar